Tuesday, May 21, 2013

Atas dasar apakah Tuhan memilih Abraham?


Abraham menjadi tokoh yang sangat populer dan diklaim sebagai Bapa orang Yahudi, Muslim dan Kristen. Tidaklah berlebihan jika disebut sebagai Bapa segala bangsa karena memang dari keturunnyalah lahir bangsa-bangsa di dunia. Ada banyak manusia di bumi pada waktu itu, tetapi kenapa justru Abraham yang dipilih oleh Allah? untuk menjawab pertanyaan ini, penting untuk menelusuri awal kisah kehidupan Abraham dalam Alkitab. Dalam Kejadian 11:27-32 dijelaskan bahwa Abram merupakan anak dari Terah dan menetap di tanah Ur-Kasdim (bagian timur Irak), mereka adalah keluarga penyembah allah lain atau berhala sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang lain yang ada di Ur-Kasdim (Yosua 24:2). David F. Hison menjelaskan, bahwa penduduk Ur dan Haran ternyata menyembah dewa yang sama, yaitu dewa bulan, yang mereka sebut Sin[1].
Jika dilihat dalam kejadian 12:1 dimulai dengan kata “Berfirmanlah Tuhan kepada Abram....”, dalam hal ini perkataan yang keluar dari mulut Allah.(bnd Kej 1:3, 6,9,11,14,20)[2]. Kita tidak tahu bagaimana Tuhan berkomunikasi dengan Abraham dan Alkitab juga tidak menjelaskan. Apakah melalui malaikatNya? Apakah melalui mimpi? Apakah dia mendengar audible voice?.

Susana Annesley


Ibu Kristen sejati”

Anak bungsu dari 25 bersaudara ini lahir pada 20 Januari 1669 di Inggris, Susana Annesley adalah putri dari pasangan Dr. Samuel Annesley dan Mary White. Walapun Susana tidak tidak pernah memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal, karena pada saat itu Inggris hanya menyediakan sekolah bagi anak laki-laki, namun dengan penuh ketekunan Ia belajar di perpustakaan pribadi milik ayahnya, Ia belajar dibawah bimbingan orang tuanya.

Dibesarkan dalam kelurga pendeta

Sebagai seorang pendeta, ayah susana selalu menekankan tentang pendidikan iman dan mendorong anak-anaknya untuk mempelajari Alkitab. Didikan sang ayah membuahkan hasil, disamping memang Susana merupakan anak bungsu yang dianggap paling cantik parasnya , ia juga dianggap lebih cerdas dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain. Pada saat berusia 13 tahun, ia sudah bisa membaca dalam tiga bahasa yang cukup penting yakni bahasa Ibrani (bahasa Perjanjian Lama), bahasa Yunani (bahasa Perjanjian Baru) dan Bahasa Latin (bahasa Alkitab Septuaginta). Dan yang lebih luar biasa dari Susana, ia mampu beragumentasi dan berdebat tentang topik-topik teologi dengan ayahnya yang merupakan seorang pendeta.  Tentunya semua ini tidak terlepas dari kegemarannya membaca koleksi buku-buku ayahnya dan juga tentu tidak terlepas dari sistem pendididkan yang diterapkan sang ayah semasa mereka masih kecil dan dukungan dari kakak-kakaknya. Pendeta Dr. Samuel Annesley selalu mendorong anak-anaknya untuk belajar bebas mengutarakan pendapat dalam segala hal.

Dididik Agar Terdidik


Ibrani 12:5-7

Temen-temen yang masih sekolah pasti nggak asing dengan kata “didikan”, karena tujuan kita sekolah adalah menerima pendidikan yang bagus untuk masa depan. Nah, ada banyak macam didikan yang kita terima, baik itu di sekolah oleh Bapak atau Ibu guru, di rumah oleh orang tua, di gereja oleh guru sekolah minggu atau kakak-kakak mentor, tapi yang lebih penting yaitu menerima didikan dari Tuhan.

Didikan merupakan proses pembelajaran, nggak ada kan manusia yang sempurna?, makanya setiap manusia perlu menerima didikan agar menjadi lebih baik lagi. Buktinya, kalo sampai sekarang kita bisa ngomong dengan jelas, bisa baca, tulis, main komputer itu karena ada yang mendidik atau yang ngajarin kita sejak masih kecil dulu. Coba bayangin, waktu kita lahir sampai gede nggak ada yang ajarin ngomong, nggak ada yang didik kita tentang tata krama, maka mungkin jadinya seperti Tarzan.

So..Tuhan juga senang mendidik kita, memang bagi banyak orang didikan Tuhan itu terasa sakit, berat dan nggak enak banget, tapi kita diingatkan melalui ayat di atas untuk tidak putus asa dan tidak menganggap enteng atau merehkan didikan Tuhan. Ada tiga tujuan Tuhan mendidik kita:
1.     Untuk memperingatkan kita (ayat 5c), mungkin ada hal-hal yang nggak berkenan di hati Tuhan atau kita telah melakukan kesalahan, makanya melalui didikan Tuhan, menyadarkan kita supaya kembali bertobat dan hidup benar.
2.    Bukti Tuhan mengasihi kita (ayat 6a), seorang anak yang nakal, nggak nurut sama orang tua dan bandel pasti dapat hadiah cubit atau pukulan dari ortu kita, itu bukan artinya orang tua nggak sayang, tetapi justru karena kita di sayang sama mereka supaya nantinya nggak bandel lagi dan jadi anak yang baik. Tuhan tahu apa yang terbaik dan sangat mengasihi kita, makanya Dia mendidik dan menghajar kita (Wahyu 3:19)
3.    Karena kita adalah anakNya (ayat 6b). Sebagai anak yang dikasihiNya, Tuhan akan terus mengingatkan, menegor dan mendidik kita.

Jika hari ini Tuhan sedang mendidik kita, terima itu dan jangan berontak, karena Tuhan tahu yang terbaik untuk anak-anakNya.


Didikan seperti emas, menjadi sangat berharga dan mahal setelah melalui proses”

Pdt. DR. Petrus Octavianus, DD, Ph.D


Pdt. Petrus Octavianus merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara, yang dilahirkan pada 29 Desember 1928 di Desa Laes, Kecamatan Rote Barat Daya, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Seorang  anak petani miskin ini sejak awal sudah akrab dengan derita, belum genap usia dua tahun ayahnya sudah meninggal. Derita yang dialami Pak Octav, begitu panggilan akrabnya, tidak membuatnya putus asa tetapi justru memacu semangatnya untuk terus maju dan berjuang.

Perjalan Panjang
Panjang jalan berliku harus ditempuh sebelum Pak Octav berkarya di Batu, setelah diasuh seorang kerabatnya, Pak Octav bisa masuk sekolah dasar, kemudian secara meloncat-loncat, sekolah di Kupang dan akhirnya terdampar di Surabaya. Sambil sekolah di Sekolah Guru Atas Surabaya, Pak Octav juga mengumpulkan kaleng bekas, dibersihkan untuk dijual sebagai biaya hidup.
Berkat kegigihan dan ketekunannya serta oleh anugerah Tuhan, maka  ia  mendirikan Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia (YPPII) di Jalan Trunojoyo, Batu pada 4 Maret 1961, yang kemudian disahkan PN Malang, pada 13 September 1969. Saat itu pun, tak banyak orang yang percaya bahwa di tanah gersang dan hanya ada rumah berdinding gedeg (bambu) tempat keluarga Pak Octavianus tinggal dan melayani akan hadir sebuah yayasan Kristen yang memiliki cakupan pelayanan begitu luas seperti saat ini, dan berbagai lembaga pendidikan/latihannya melahirkan ratusan kader, penginjil dan petugas yang termotivasi oleh semangat tinggi seorang Petrus Octavianus.

Semakin Melejit
Ketekunan doa dan perkenanan Tuhan membuat anak yatim asal Rote tersebut berhasil menapak ke atas, meraih gelar Doctor of Divinity dari Biola University di Los Angeles, AS, tahun 1980, serta Doctor of Philosophy dari Kennedy Western University, Wyoming, AS, tahun 1999. Segudang pengalaman dan karir baik dalam pelayanan di dalam negeri maupun luar negeri patut kita berikan apresiasi yang tinggi. Disamping sebagai founder dari YPII Batu, beliau juga sebagi ketua pendiri Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII) yang dahulu bernama PII serta pendiri Gereja Misi Injili Indonesia (GMII) sebelumnya bernama Gereja Pekabaran Injil Indonesia (GPII). Pak Octav juga sering disebut sebagai tokoh Kristen dan peletak dasar gerakan Injili dan kekristenan modern di Indonesia.

Pelayanan Pak Octav telah diterima secara luas di Indonesia, sehingga tanggal 29 Juni 2000, Presiden Republik Indonesia: Bapak KH Abdurrahman Wahid beserta isteri dan rombongan para pejabat Pemerintah berkunjung di kediamannya di Batu, Jawa Timur. Dalam pidatonya Gus Dur mengatakan: "Saya baru pertama kali ini datang kemari, walaupun sudah lama mendengar apa yang dikerjakan oleh Pak Octavianus. Beliau merupakan contoh dari orang yang berjuang untuk kepentingan sesama melalui agamanya."

Petrus Octavianus pernah menjadi politikus, pimpinan Parkindo, tetapi akhirnya meninggalkan semua itu untuk sepenuhnya bekerja di ladang Tuhan dengan menjadi pendeta. Pengalaman sebagai pendeta membawanya mengembara melayani umat di lebih dari 85 negara di lima benua, ia pernah ditahan 10 hari di China karena berceramah tanpa izin.
Pendeta Octavianus punya hubungan yang dekat dengan Amerika Serikat, selain bersahabat dengan Billy Graham, seorang penginjil tingkat dunia,  juga pernah diundang makan Presiden Jimmy Carter pada acara peringatan 200 tahun kemerdekaan Amerika Serikat, Pak Octav termasuk segelintir orang di Indonesia yang mempunyai hotline dengan White House. Kedekatan dengan AS juga terbukti bahwa sejak tahun 1987 Sampai saat pemerintahan Presiden George W Bush, beliau selalu diundang menghadiri acara National Prayer Breakfast (NPB). NPB adalah suatu acara yang secara reguler diadakan pemerintah AS yang menghadirkan para tokoh politik dan rohaniawan..


Seorang ayah yang menjadi teladan
Dari lembaga pelatihan dan pendidikan yang didirikannya telah melahirkan anak-anak rohani yang berkarya dan menempati posisi atau jabatan strategis di masyarakat. Gaya hidup yang sederhana, tidak mudah menyerah dan penuh ketekunan memberikan teladan bagi anak-anak rohaninya dan juga delapan anaknya, buah pernikahan Pak Octav dengan Ibu Henriene Mone, yang semuanya sudah menjadi sarjana dalam beragam disiplin ilmu.
Dia adalah suami dan ayah yang patut dipanut, dihormati dan dikasihi, karena mencintai dan mengasihi keluarganya. Sebab, meskipun seperti dikisahkan dalam otobiografinya Hidupku untuk Tuhan dan Sesama, Petrus Octovianus selalu pergi dan berada di tengah-tengah mereka yang dilayani, tetapi dia tetap seorang ayah bagi putra-putrinya dan suami terkasih bagi istrinya dengan memberikan perhatian dan kasihnya.

Pemimpin yang Futurolog
Kegemaran mengajar mengantarnya menjadi penulis buku yang sangat produktif. Sudah banyak buku berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang dia tulis mengenai agama, kehidupan masyarakat, manajemen, dan pemerintahan. Dalam buku yang bertajuk "Menuju Indonesia Jaya (2005-2030) dan Indonesia Adidaya (2030-2055)” Jilid I-III yang berisi Solusi Masalah Bangsa Indonesia dan Benang Merah Pembangunan, diawali dengan sebuah visi dan mimpi yang besar bahwa bangsa indonesia akan menjadi bangsa yang jaya bahkan adidaya. Buku jilid I hanya diselesaikan hanya dalam 45 hari. Sebagai seorang pelayan Tuhan “berkaliber” internasional, Pendeta Petrus Octavianus meyakini apa yang ia imani itu akan menjadi kenyataan. “Tuhan banyak memberikan visi kepada saya. Dan visi Tuhan itu selalu saya imani dan tidak pernah salah,” katanya.

Berjalan dalam visi dan iman mengantarkan kesuksesan bagi Pak Octav, walaupun memliki segudang alasan untuk menyerah dengan keadaan, untuk hanya meratapi penderitaannya, tetapi tidak dipilih oleh tokoh Injili ini, dia memilih untuk bangkit dan menatap jauh ke depan, dengan mimpi-mimpi yang besar. Sungguh merupakan seorang pemimpin yang tidak mudah tergoncangkan!