Academy
Award atau
disebut juga piala Oscar adalah penghargaan film paling terutama dan bergengsi di
Amerika Serikat, digelar setiap tahun untuk penganugerahan dunia perfilman. "Chariots
of fire", film yang mengisahkan perjuangan dan tantangan seorang pelari
jarak pendek, yaitu Eric Liddell ini terpilih sebagai film terbaik dan meraih
piala Oscar pada tahun 1982. Kisah hidup Eric sangat menginspirasi bagi banyak
orang, baik dalam ketaatannya, kegigihannya, terutama penghormatannya akan
Tuhan.
Menjadi Atlet
nasional Skotlandia
Bakat olahraga melekat pada Eric, sehingga dia
dipercaya untuk menjadi pemain rugby nasional dan mewakili Skotlandia dalam
ajang perlombaan tingkat internasional. Selain rugby, pria yang dijuluki dengan
"The Flying Scotts" ini juga ditunjuk sebagai kapten regu kriket dan
pemegang rekor lari 100 yard (91,44 meter). Dalam kurun waktu yang singkat,
Eric menjadi bintang universitas di bidang atletik. Setelah beberapa saat,
namanya segera menjadi pusat perhatian di seluruh tanah Skotlandia dan seluruh
kerajaan Britania karena prestasinya yang luar biasa dalam berbagai kejuaraan
atletik internasional. Pada tahun 1924, Eric mencapai puncak kejayaannya dalam
bidang atletik setelah memenangkan medali perunggu dalam cabang lari 200 meter
dan medali emas dalam cabang lari 400 meter kejuaraan Olimpiade di Paris.
Eric selalu yakin bahwa ia akan mendapatkan kekuatan dari Tuhan untuk menyelesaikan pertandingan sampai akhir, dengan berlari dan meraih kemenangan sebagai suatu cara untuk memuliakan Tuhan. Ia mengumpamakan perlombaan lari sebagai khotbah. Di arena Olimpiade Paris, Eric memutuskan sesuatu yang mengejutkan dunia. Eric menolak untuk bertanding di arena lari 100 yard, cabang spesialisasinya, karena pertandingan itu diadakan di hari Minggu. Eric memegang teguh keyakinannya untuk menguduskan hari Minggu sebagai harinya Tuhan. Keputusan Eric mendapat kritikan tajam dari khalayak ramai. Publik menuduhnya tidak patriotik (karena menyebabkan hilangnya kesempatan Skotlandia untuk meraih medali emas). Pangeran Wales sendiri mendesak Eric untuk menghormati raja dan negaranya lebih daripada Tuhan. Namun tanggapan Eric atas tekanan ini merupakan teladan yang sangat indah tentang bagaimana kita dapat mempertahankan keyakinan kita dengan sikap yang terhormat. Eric tetap menolak untuk berlari dalam pertandingan yang telah dijadwalkan baginya, dan memilih untuk bertanding dalam nomor yang sebenarnya bukan andalannya.
Penolakannya untuk lari di cabang 100 yard [pada hari
Minggu] menunjukkan kepatuhannya dan penghormatannya kepada Tuannya di Surga
dengan risiko menerima kemarahan dari tuannya di dunia. Tetapi Eric tetap
memutuskan untuk ikut di cabang lari 400 yard yang bukan keahliannya. Salah satu pelatih
Eric menyelipkan kertas kecil sebelum pertandingan lari 400 yard (365,76 meter)
dimulai yang berisi kutipan dari 1 Samuel 2:30, "'Siapa yang menghormati
Aku, akan Kuhormati'. Semoga berhasil dan selamat berjuang."
Pelatih itu tidak salah, Eric memenangkan medali emas untuk cabang lari tersebut. Seandainya Eric tidak memenangkan medali emas pada saat itu pun kepatuhannya terhadap perintah Tuhan patut mendapatkan medali emas. Hidup Eric pada tahun-tahun selanjutnya ditandai dengan keputusan-keputusan yang konsisten dengan kepatuhan dan kesetiaan Eric kepada Kristus.
Pelatih itu tidak salah, Eric memenangkan medali emas untuk cabang lari tersebut. Seandainya Eric tidak memenangkan medali emas pada saat itu pun kepatuhannya terhadap perintah Tuhan patut mendapatkan medali emas. Hidup Eric pada tahun-tahun selanjutnya ditandai dengan keputusan-keputusan yang konsisten dengan kepatuhan dan kesetiaan Eric kepada Kristus.
Kembali ke Cina
Tidak lama setelah olimpiade, ia lulus sekolah, lalu
kembali ke Cina Utara melayani sebagai dokter dan misionaris. Dia menjadi
pengajar injil dan pengkhotbah populer. Eric menyebarkan injil Kristus di Cina
dari tahun 1925 sampai 1943. Ia menikah dengan Florence Mackenzie, anak seorang
utusan Injil dari Kanada, di Tientsin tahun 1934. Mereka dikaruniai tiga orang
anak perempuan, Patricia, Heather dan Maureen. Tantangan yang harus dihadapi
Eric ketika menerima tugas pengabaran Injil di daerah pedalaman Xiaozhang.
Pengabaran Injil di Xiaozhang bukanlah hal yang mudah karena daerah itu berada
dalam keadaan perang (waktu itu Jepang sudah menjalankan misi ekspansinya ke
daratan China). Jika ia menerima tantangan ini berarti Eric harus berpisah dari
istrinya yang baru dinikahinya 3 tahun sebelumnya. Selama setahun Eric bergumul
dalam doa dan akhirnya ia menerima tugas itu sebagai panggilan yang pasti dari
Tuhan.
Hidup para misionaris menjadi terancam ketika Jepang
menyatakan perang kepada Inggris. Banyak misionaris dari Eropa meninggalkan
daratan China untuk menunggu waktu yang lebih baik untuk kembali ke China.
Banyak juga yang berkeras untuk tinggal di China, dan Eric adalah salah
satunya. Walaupun pemerintah Inggris meminta warganya untuk meninggalkan negeri
itu, namun Eric hanya meminta istrinya dan anak-anak mereka berangkat ke
Kanada, sednagkan selama 1941-1943, Eric tetap tinggal di Tientsin. Pada tahun
1943 ia dipenjarakan di Weishien, di camp penjara ia tetap memberitakan injil
dan berolahraga. Eric bekerja begitu keras sehingga akhirnya kesehatannya
menurun dengan cepat. Tanpa diketahuinya, di kepalanya tumbuh tumor otak yang
ganas. Hanya dalam beberapa minggu setelah Eric sakit, pada tanggal 21 Februari
1945 Eric dipanggil untuk menerima upah ketaatannya dari Bapanya yang di surga.
Ketaatan Eric Liddell, dari kejadian di Olimpiade Paris hingga di kamp Weihsien, menjadi suatu tantangan yang indah bagi semua orang Kristen. Dia menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk berbuat baik kepada semua orang, menjadi saksi bagi Tuhan Yesus, dan menjadi contoh ketaatan pada panggilan Tuhan. Karena Injul harus diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahnnya!.
“God made me
fast, and when I run, I feel His pleasure (Allah membuatku dapat berlari cepat,
dan ketika aku berlari, aku merasakan kegirangan hati-Nya),”
Eric Liddell