Wednesday, April 24, 2013

John R. Mott, "Bapak Oikumene Dunia"


Jika kita berbicara mengenai keesaan atau kesatuan gereja, pasti akan segera terlintas dibenak kita tentang wadah-wadah seperti PGI, PGPI dan PGLII, namun sebenarnya ada tokoh yang menjadi pioner dari gerakan ouikumene yaitu John R. Mott. Ia diilahirkan pada tanggal 25 Mei 1865 di Postville, Iowa, USA. Ayah Mott bernama John Stitt Mott dan ibunya bernama Elmira Dogde. Ayahnya bekerja sebagai pedagang kayu dan dalam pemilihan Walikota, ayahnya terpilih sebagai walikota pertama di Postville, Iowa. Anak ketiga dari empat bersaudara ini pada umur 13 tahun mengalami pertobatan dan bergabung dalam Gereja Metodis.

Menentukan pilihan

Pada tahun 1881 John Mott belajar di Upper Iowa University selama 4 tahun. Sekolah ini adalah milik Gereja Metodis sehingga proses belajar-mengajarnya diwarnai oleh kekristenan. Dia adalah seorang mahasiswa yang sangat antusias mempelajari sejarah dan sastra. Ketika John Mott menempuh pendidikan di sekolah tersebut, ia bergumul tentang cita-citanya dengan panggilan Allah, ia diperhadapkan dengan pilihan antara hukum dan meneruskan bisnis kayu ayahnya atu melayani Tuhan, tetapi ia berubah pikiran setelah mendengar pengajaran dari J. Kynaston Studd pada tanggal 14 Januari 1886. Tiga kalimat yang disampaikan oleh Studd: Ia mendorong untuk melayani Tuhan seumur hidup dan memperkenalkan Kristus kepada para siswa, bukan hanya mencari hal-hal yang besar untuk dirinya sendiri, tetapi juga mencari mereka yang terhilang, mencari dahulu kerajaan Allah.
Setelah itu Mott melanjutkan studinya ke Universitas Cornell pada tahun 1885. Di sinilah Mott memulai kegiatan Pekabaran Injil. Sebenarnya Mott ke Cornell agar ia dapat bekerja pada pekerjaan duniawi atau meneruskan usaha ayahnya, tetapi ia lebih memilih untuk melayani Tuhan. Di universitas ini Mott terpilih sebagai wakil ketua "Asosiasi Pemuda Kristen" (Young Men Christian Association/YMCA) cabang Cornell. Dia giat memberitakan Injil di kalangan mahasiswa dan memimpin kebaktian di penjara-penjara. Dan tepat Pada tahun 1888 ia menyelesaikan studinya di Cornell, setelah tamat dari Cornell, ia menjadi sekretaris "Asosiasi Pemuda Kristen" (YMCA) Amerika Serikat dan Kanada, Ia mengunjungi seluruh universitas dan perguruan tinggi di kedua negara tersebut.

Api penginjilan

John Releigh Mott merupakan seorang tokoh besar dalam kegiatan penginjilan di kalangan mahasiswa di berbagai universitas di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Pada musim panas tahun 1886, Mott mewakili Universitas Cornell YMCA pada konferensi mahasiswa Kristen interdenominasi internasional, dimana D.L. Moody menjadi ketua konferensinya. Konferensi tersebut dihadiri oleh 251 mahasiswa dari 80-90 perguruan tinggi dan universitas. John Mott beserta seratus orang berjanji untuk bekerja dalam misi asing. Dari sini, dua tahun kemudian, muncul Gerakan Mahasiswa Relawan untuk Misi Asing. Api dan semangat penginjilan membakar jiwa Mott sejak masa mudanya, terbukti ia sangat aktif dalam kegiatan dan pembentukan lembaga penginjilan internasional. Dia menjabat sebagai ketua Gerakan Relawan Mahasiswa untuk Misi Asing (1915-1928) dan dari International Missionary Council of YMCA (1921-1942). Mott juga merupakan presiden dari Aliansi Dunia YMCA 1926-1937, pengalaman dan dedikasinya untuk penginjilan, membawa Mott menjadi Ketua Komisi Persiapan untuk Konferensi Pekabaran Injil se Dunia di Edinburgh tahun 1910. Sebagi pemikir utama dalam konferensi ia banyak memimpin persidangan. Setelah itu konferensi itu bubar, maka dibentuklah Komisi Penerus (Continuation Committee) yang diketuai oleh John Mott sendiri hingga tahun 1920. Sehingga sosok Mott tidak dapat dilepaskan dari Dewan Pekabaran Injil International (International Missionary Council) yang dibentuk pada tahun 1920. Mott menjadi ketua Dewan ini hingga tahun 1942. Dalam kedudukannya sebagai Ketua Dewan Pekabaran Injil ini, ia mendorong agar di tiap negara dibentuk Dewan Pekabaran Injil Nasional.

Tokoh Ouikumene Dunia

Selain dikenal sebagai tokoh penginjil dunia, Ia juga dikenal sebagai seorang tokoh pergerakan oikumene di dunia yang tiada tandingnya. Mott begitu paham arti dan dampak dari kesatuan tubuh Kristus, ia terus belajar untuk mengumpulkan mahasiswa dari berbagai denominasi. Sejak semula ia telah berniat untuk mengusahakan kerjasama antara semua gereja. Ia berkata: "Kita harus awas! Jangan kita menyangka bahwa gereja kita sendiri adalah satu- satunya gereja. Kita harus selalu menghormati semua cabang dari gereja yang Kudus dan am."
Usaha dari John Mott untuk mengupayakan kesatuan gereja dirintisnya sejak awal, Pada bulan Agustus 1895 di Wettern, ia mendirikan World Student Christian Federation (WSCF). Cita-cita dari didirikannya organisasi ini adalah mengusahakan terciptanya kesetaraan antara sesama, dengan menghilangkan berbagai bentuk diskriminasi yang ada, juga ia memiliki visi dan harapan akan persatuan sebagai tubuh Kristus. Cita-cita WSCF ini tercermin dalam mottonya yang berbunyi “UT OMNES UNUM SINT” atau “Itu semua menjadi satu”. Motto WSCF ini juga menggambarkan sifat dari organisasi ini yaitu oikumenis. Dan sejak tahun 1911, Federasi Mahasiswa Kristen sedunia ini membuka pintu bagi golongan-golongan lain yang gigh memperjuangkan paham oikumenis di kalangan umat Kristen.
John R. Mott dan rekan-rekannya sadar bahwa karya misi yang efektif membutuhkan kerja sama dan kesatuan gereja. Gerakan Relawan Mahasiswa yang dipimpin Mott menghasilkan aktivitas misi seperti pusaran angin. Misi tersebut beroperasi melintasi garis-garis denominasi. Keseribu delegasi dimana John R. Mott sebagai penggerak utamanya,  mengontrol dua organisasi besar yaitu:  Faith and Order Movement (Gerakan Iman dan Tata Ibadah) untuk isu-isu doktrinal dan Life and Work Movement (Gerakan Kehidupan dan Karya) bagi misi dan pelayanan. Pada tahun 1937, dengan pertemuan secara terpisah di Oxford dan Edinburgh, kedua organisasi ini memilih untuk bergabung. Para pemimpin gereja bertemu di Utrecht, pada tahun 1938, untuk menyusun sebuah konstitusi. Namun, Perang Dunia mencegah langkah maju gereja-gereja dengan rencananya tersebut.

Setelah perang usai, ada rasa kesatuan yang lebih besar ketika gereja-gereja di seluruh dunia dan berupaya memulihkan keadaan. Pertemuan di Amsterdam pada tahun 1948 akhirnya menyatukan kedua badan terdahulu itu menjadi World Council of Churches (WCC) atau Dewan Gereja-gereja se-Dunia. Terdapat 135 badan-badan gereja yang terwakili dari empat puluh negara. Setelah seumur hidup mengupayakan oikumene, John R. Mott, dalam usianya yang ke delapan puluh, terpilih sebagai ketua kehormatan.  Hal ini adalah patut dilakukan mengingat akan jasa dan peranannya dalam pergerakan oikumene dan pekabaran Injil di dunia. Jabatan ini dipegangnya hingga ia meninggal dunia pada 31 Januari 1955. WCC mengajak gereja-gereja bekerja sama, belajar bersama, bersekutu bersama, berbakti bersama, dan bertemu bersama dalam konferensi khusus dari waktu ke waktu. WCC menolak rencana apapun untuk membentuk "gereja dunia" baru. WCC tidak akan memiliki kekuasaan yang terpusat. WCC hanya bertujuan memberi gereja-gereja di seluruh dunia kesempatan dan sumber untuk bekerja sama satu dengan yang lain dan menjawab doa Yesus dalam Yohanes 17:21.

Dalam sejarah pergerakan oikumene di Indonesia nama Mott perlu dicatat pula. John Mott mengunjungi Indonesia pada tahun 1926. Di sini ia memberikan rangsangan yang sangat berarti bagi kegiatan Gerakan Mahasiswa Kristen di Hindia Belanda. Organisasi-organisasi seperti YMCA, kemudian GMKI dan DGI dengan Komisi Pekabaran Injilnya berakar dari pekerjaan John R. Mott.

Dr. John Mott menikah dengan Leila Ada white pada tahun 1891, mereka memiliki empat anak, dua putra dan dua putri. Dia tutup usia di rumahnya di Orlando, Florida, pada usia delapan puluh sembilan tahun.

Selama hidupnya John R. Mott telah menulis enam belas buku di bidangnya; menyeberangi Atlantik lebih dari seratus kali dan Pasifik sebanyak empat belas kali; Ia telah menyampaikan ribuan pidato. Ia dianugerahi tujuh gelar kehormatan, pemerintah Amerika Serikat juga menghadiahkan kepadanya medali kehormatan. Pada tahun 1948 Mott adalah salah seorang pemenang Hadiah Nobel perdamaian. Prestasi yang luar biasa tersebut tidak sebanding dengan perjuangannya sebagai tokoh Ouikumene dunia, yang berjuang untuk mengupayakan kesatuan Tubuh Kristus agar tetap unity.

Evan Roberts “Pemuda yang Mengguncang Dunia”


Seringkali orang muda dipandang sebelah mata oleh para seniornya tetapi hal itu tidak berlaku pada diri Evan Roberts, seorang pemuda yang dipakai Tuhan luar biasa pada zamannya. Buah kasih dari pasangan Henry dan Hannah Roberts ini lahir pada 8 Juni 1878 di Loughor, Wales. Dia bertumbuh dan dibesarkan dalam keluarga Methodis Calvinis, Evan adalah seorang anak yang rajin beribadah di gereja secara teratur dan menghafal kitab suci di malam hari sejak belia.

Pembentukan karakter di keluarga

Kedua orang tuanya yang dikenal sebagai pelayan Tuhan dan seorang pekerja keras, mendidik anak-anaknya termasuk Evan di dalam takut akan Tuhan. Nilai-nilai kebenaran firman Tuhan sangat kental diterapkan dalam keluarga mereka, sehingga itu menjadi bekal yang sangat berharga dalam proses kedewasaan kerohanian Evan Roberts. Harapannya untuk mengenyam pendidikan yang tinggi kandas, akibat situasi ekonomi yang sulit pada saat itu, memaksanya untuk berhenti sekolah dan membantu ayahnya bekerja di tambang batubara dari usia 11-23 tahun. Dia bekerja setiap hari tanpa mengeluh dan putus asa. Saat bekerja pun ia menyimpan Alkitabnya di celah-celah pertambangan dan membacanya di sela-sela waktu kerja. Upah yang dia terima sebagian besar dipakai untuk membeli alat-alat musik, dan dengan penuh ketekunan ia belajar memainkannya sampai mahir. Ia juga gemar menulis beberapa puisi dan cerita pendek yang diterbitkan oleh  surat kabar setempat.

Perjumpaan dengan Tuhan yang mengubah hidupnya

Di usia 13 tahun, Evan mengalami perjumpaan dengan Yesus secara pribadi, sejak saat itu ia bernazar akan mempersembahkan hidupnya untuk melayani Tuhan. Evan selalu bertanya kepada Tuhan dengan perkataan ini : “Apa yang telah kulakukan bagi Yesus?“. Pertanyaan ini diajukannya kepada Tuhan berulang-ulang sehingga memacu dirinya untuk melayani Tuhan dengan sungguh-sungguh. Perjumpaannya dengan Tuhan mengubah hidupnya dan membuat dia semakin bergairah membaca segala sesuatu yang ada kaitannya dengan Tuhan dan menjadi anak yang berbeda dari teman-teman seusianya. Dia tidak terlibat dalam olahraga, hiburan, atau gurauan yang tidak sopan. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya selain mengenai kebangunan rohani.

Kehidupan kerohanian yang ekstrim dan semangatnya yang luar biasa dalam hal agama. sehingga orang-orang menyebutnya “orang yang gila agama”. Evan merenungkan Firman Tuhan hingga berjam-jam, terkadang dia rela tidak tidur hanya untuk berdoa. Dia memiliki jam doa yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya, ia berdoa selama 4 jam dari jam 01.00 lalu tidur jam 05.00, bangun jam 09.00 dan berdoa siang sampai jam 12.00. Melihat sikap dan kehidupan Evan, banyak orang yang prihatin (mereka tidak tahu apa yang akan terjadi kelak di kemudian hari). Setiap kali orang bertanya mengapa hal ini terjadi dalam hidup Evan, maka ia menjawab “Semua ini karena dorongan Roh Kudus“.

Kebangunan rohani melanda Wales

Selama 11 tahun, sejak masih remaja ia berdoa untuk kebangunan rohani bagi negaranya. Dia begitu yakin, bahwa satu-satunya harapan untuk kondisi di negaranya yang sangat buruk pada waktu itu, adalah pencurahan Roh Kudus yang dahsyat. Tidak banyak orang yang mengerti arti kuasa doa pada zamannya. Bahkan orang ke gereja hanyalah  rutinitas dan tradisi saja.  Evan mengerti rahasia sorgawi yang ia praktekkan yaitu : “Mintalah maka akan diberikan kepadamu. Praktekkanlah iman yang menyeluruh dan pasti dalam janji Tuhan mengenai Roh Kudus“.  Pada bulan Desember 1903, Evan tahu bahwa akan ada kebangunan rohani besar-besaran terjadi di Wales. Suatu ketika saat berjalan-jalan di taman bersama Sidney Evans, ia melihat Sidney terkejut memandangi bulan dan ia berkata, “Apa yang kau lihat? Apa yang kau pandangi?” Di saat yang bersamaa, Evan Roberts juga melihat apa yang dilihat Sidney, yaitu tangan yang terjulur dari rembulan dan menjangkau Wales. Bagi Evan, penglihatan itu adalah sebuah konfirmasi bagi kebangunan rohani dan penuaian di Wales yang sudah lama didoakannya.

Pada tanggal 31 Oktober 1904, Evan Roberts mendapat izin untuk mengadakan kebaktian di gereja Moriah, tempat ia beribadah sejak kecil. Kebaktian itu diadakan untuk melatih para pendoa syafaat yang berdiri bagi kebangunan rohani di Wales. Anak-anak juga dilatih untuk terlibat dalam kegerakan doa bagi Wales, yaitu pada pagi dan malam hari. Evan Robers percaya bahwa kebangunan rohani akan terjadi melalui dengan adanya kerja sama dengan Roh Kudus. Sejak saat itu selama dua minggu terjadi ledakan kebangunan rohani yang besar. Kebaktian yang dipimpin oleh Evan ditandai dengan tawa, tarian, sukacita dan hati yang hancur. Wales, kota yang berpenduduk 3000 orang, sepertiganya hadir untuk mengikuti ibadah bersama Evan. Kabar mengenai kebangunan rohani ini tersebar ke negara-negara lain, seperti ke Rusia, India, Irlandia, Norwegia, Kanada, Belanda, bahkan ke Afrika Selatan. Banyak orang dari negara tersebut dari datang untuk membawa pulang api kebangunan rohani dari Wales. Salah satunya adalah Frank Bartleman, seorang penginjil.


Kebangunan rohani yang berdampak besar

Kebangunan rohani di Wales tidak hanya menghasilkan ribuan petobat-petobat baru, namun juga berdampak pada masyarakat Wales. Tempat-tempat perjudian, toko-toko yang menyediakan alkohol, bar-bar dan bioskop kehilangan pelanggan, sehingga mereka harus menutup usaha mereka tersebut. Polisi tidak dibutuhkan lagi karena kejahatan merosot. Runtuhnya denominasi-denominasi gereja yang dibuat manusia, seiring bersatunya orang-orang percaya dalam beribadah dan menyembah Tuhan. Habisnya persediaan Alkitab di toko-toko, karena orang mulai mengagumi Allah dan firmanNya. Mereka memerlukan Alkitab untuk kebaktian yang sebelumnya tidak pernah mereka hadiri.

Kurang dari dua tahun, Evan Roberts menjadi terkenal bahkan kabar kebangunan rohani di Wales ini telah mencapai bangsa-bangsa. Bukan tanpa usaha dan bayar harga sehingga Evan dipakai Tuhan untuk kebangunan rohani di Wales. Doa yang dibarengi ketekunan dan iman yang teguh, membawanya naik ke level yang lebih tinggi.  

Tuesday, April 23, 2013

Katharina Von Bora

“Wanita tangguh yang penuh kasih”

Katharina von Bora lahir di Lippendorf, Jerman pada tanggal 29 Januari 1499. Ia berasal dari keluarga bangsawan, ayahnya bernama Hans Von Bora dan ibunya Anna Von Haubitz. Tidak banyak informasi tentang masa kecil Katharina, namun sejak kecil, ketika berumur 6 tahun ibunya sudah meninggal. Dia dibesarkan dalam keluarga beragama Katolik Roma yang taat.

Hidup sebagai seorang biarawati

Waktu Katharina von Bora dihabiskan didalam biara, hal itu tidak lumrah bagi kalangan bangsawan pada zaman itu untuk mengirim anak mereka ke biara dalam jangka waktu tertentu atau selamanya. Namun ketika berumur 5 tahun Katharina dikirim ke biara Benediktin di Brehna, yang memberikan pendidikan bagi gadis-gadis muda. Kathrina dikirim ke dua kalinya  bersama bibinya di biara Cistercian dari marienthron di Nimbschen. Pada usia enam belas dia mengambil sumpah untuk menjadi seorang biarawati di biara tersebut. Ketika tinggal di biara, ia memiliki banyak kesempatan untuk belajar. Dia merupakan seorang yang suka membaca dan menulis dan banyak keahlian lainnya.

Pada usia dua puluh empat tahun ia menerima pengajaran Reformasi dan dia dikonversi ke Injil sejati Kristus Yesus, dan mulai meninggalkan karya-kebenaran Gereja Roma. Setelah merangkul doktrin-doktrin dan keyakinan baru, ia memutuskan untuk meninggalkan biara. Dia tidak bisa lagi hidupnya didedikasikan untuk agama palsu. Pada akhirnya, dia melarikan diri dari biara bersama dengan sebelas biarawati lainnya. Ini merupakan langkah yang sangat berbahaya bagi para biara wanita yang melarikan diri dan mereka yang menyangkal agama, karena hukumannya adalah hukuman mati. Tapi cintanya akan Kristus lebih kuat dari ketakutannya akan kematian, sehingga dia berani melarikan diri. Katharina dan teman-temannya berhasil melarikan diri dengan bersembunyi di kereta Koppe yang tertutup antara barel ikan, dan melarikan diri ke Wittenberg, dalam pelariannya, dia menghubungi Luther dan memohon bantuannya. Para biarawati yang melarikan diri dengan cepat ditempatkan di keluarga atau menikah karena tidak ada tempat untuk perempuan lajang dalam masyarakat pada waktu itu.

Menjadi isteri sang Reformator

Dalam pelariannya, Katharina menjadi “incaran” para pria, termasuk alumnus Universitas Wittenberg Jerome (Hieronymus) Baumgartner dari Nuremberg dan seorang pendeta, Dr Kaspar Glatz dari Orlamünde, tetapi tidak ada yang cocok bagi katharina. Akhirnya, ia menikah dengan Marthin Luther, pada 13 Juni 1525 di hadapan para saksi, termasuk Justus Jonas, Johannes Bugenhagen, dll. Meskipun pernikahannya banyak yang menentang, tetapi ia berkata: “Pernikahan saya akan menyenangkan ayah saya, menggusarkan Paus, menyebabkan malaikat tertawa dan setan menangis”.
Jadi dengan tekad yang sudah bulat ia menikah. Pernikahan mereka bukan hanya atas dasar kasih tetapi juga mencoba untuk memberi contoh dan bersuara keras terhadap pandangan rendah terhadap pernikahan di Gereja Roma.
Setelah menikah, Katharina mengerjakan tugas administrasi dan mengelola kepemilikan besar biara, memelihara dan menjual ternak. Pada saat itu wabah penyakit meluas, Katharina diperbantukan di sebuah rumah sakit untuk melayani orang sakit bersama perawat lainnya. Pernikahannya dengan Luther dikaruniai enam orang anak, Hans, Elizabeth yang meninggal pada usia delapan bulan, Magdalena meninggal pada tiga belas tahun, Martin Jr, Paul dan Margarete, mereka juga mengangkat empat anak yatim piatu, termasuk keponakan Katharina.

Isteri yang penuh tanggung jawab dan kasih sayang

Katharina biasa bangun jam 4 pagi untuk mengerjakan tanggung jawabnya sebagai isteri, sehingga Luther menyebut istrinya itu sebagai “bintang pagi dari Wittenberg”. Mantan suster ini sangat rajin menyiangi kebun sayuran dan tanaman anggreknya. Ia juga mengelola bisnis keluarga dan mengatur rumah tangga dan properti lainnya milik Luther. Katharina menjadikan rumah sebagai sekolah pembentukan karakter anak-anaknya. Ketekunan Katharina yang penuh semangat dan perhatiannya bagi keluarga menjadikannya sebagai seorang wanita yang berpengaruh.
Katharina tampaknya mirip seperti seorang wanita yang digambarkan dalam Amsal 31. Wanita ini jelas merupakan istri berkarakter mulia yang “bangun kalau masih malam, lalu menyediakan makanan untuk seisi rumahnya” (ay.15). Ia juga “mengawasi segala perbuatan rumah tangganya, makanan kemalasan tidak dimakannya” (ay.27).

Dari tokoh panutan seperti Katharina, kita dapat belajar tentang kasih, ketekunan, dan takut akan Tuhanyang dibutuhkan untuk menjadi seorang wanita yang berpengaruh. Keberhasilan marthin Luther tidak terlepas dari peran dan doa sang isteri, Katharina von Bora. Sungguh sebuah perhatian dan kasih seorang isteri yang tidak berkesudahan.

Toyohiko Kagawa

“Pahlawan Kaum Buruh di Jepang”

Toyohiko Kagawa lahir di Kobe, Jepang pada tanggal 10 Juli 1888. Ayahnya adalah seorang politikus dan pembesar di Jepang. Ia dilahirkan dari seorang ibu yang merupakan gundik dari ayahnya. Kagawa kurang merasakan kasih sayang dari orang tua, karena sejak ia masih berusia empat tahun, ibunya meninggal, ridak lama berselang, ketika ia masih muda ayahnya juga meninggal dunia. Akhirnya, Kagawa dipelihara oleh ibu dan nenek tirinya di desa Awa. Penderitaan yang berat dia alami sejak kecil, nenek tiri yang mengasuhnya adalah seorang yang kejam sehingga Kagawa kerap mendapat perlakuan yang buruk.

Harga yang mahal untuk sebuah Kelahiran Baru

Setelah menyelesaikan pendidikan rendahnya di Awa, ia dikirim untuk melanjutkan sekolah di kota dan tinggal bersama pamannya. Di sekolah, ia tidak disukai oleh teman-temannya, karena ia tidak mau mengikuti kebiasaan-kebiasan buruk seperti yang teman-temannya lakukan, seperti berjudi, mencuri dan melacur.
Kagawa adalah seorang yang cerdas dan memiliki pendirian yang kuat, karena alasan itulah maka pamannya mengirim Kagawa belajar bahasa Inggris pada seorang pendeta Gereja Presbiterian, yang bernama Katayama tetapi Kagawa menyebutnya Dr. Harry Myers. Sejak saat itulah Kagawa mulai mengenal kekristenan, ia mulai berdoa sekalipun ia belum menjadi Kristen, ia mulai tertarik untuk membaca dan menghafal ayat-ayat Alkitab, terutama mengenai Khotbah di Bukit. Ia begitu memiliki kerinduan untuk menjadi sama seperti Kristus, dalama doanya hal yang dimintanya adalah “ Jadikanlah aku seperti Kisrtus.” Akhirnya, pada usia 15 tahun tanpa sepengetahuan pamannya ia dibaptis dan menjadi Kristen.
Setelah tamat di sekolah menengah, pamannya menyuruh melanjutkan kuliah pada Imperial University, namun Kagawa menolaknya dan dengan penuh keberanian dan siap akan resiko apapun yang akan ia tanggung, akhirnya Kagawa menyatakan bahwa ia telah menjadi seorang Kristen. Rupanya dia harus membayar harga yang mahal untuk sebuah iman dan kepercayaan akan Tuhan Yesus, ketika mendengar hal tersebut pamannya mengusir Kagawa. Kemudian ia di tampung oleh Dr. Myers dan disekolahkan di Presbyterian Collage di Tokyo sejak tahun 1905. Ia menaruh perhatian pada Filsafat, masalah sosial seluruh bidang hidup manusia terutama menyangkut tindakan-tindakannya.

Menemukan panggilan pelayanan

Di sekolah inilah ia mengetahui bahwa panggilannya adalah untuk membantu orang-orang miskin. Kesadaran atas panggilan tersebut direspons olehnya dengan serius. Salah satu perhatiannya adalah soal kemiskinan yang mendera Jepang di awal abad kedua puluh. Perekonomian masyarakat Jepang pada awal abad kedua puluh memang terpuruk. Pertumbuhan ekonomi melambat dan tingkat kemiskinan amat tinggi. Untuk lebih mendekatkan diri pada pokok masalah, sejak tahun 1909 ia memutuskan untuk tinggal bersama-sama orang-orang miskin di sebuah gubuk berukuran 2x2 meter di daerah Shinkawa. Kagawa menyisihkan uangnya untuk membantu masyarakat miskin di sana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Salah satu sumbangan Kagawa bagi pemberantasan kemiskinan adalah dengan meneliti secara ilmiah penyebab, akibat, dan cara menanggulangi kemiskinan. Hasil peneltiannya terangkum dalam buku Ilmu Jiwa tentang Kemiskinan (The Psychology of Poverty). Buku tersebut mendapat perhatian dari pemerintah Jepang, sehingga pemerintah berupaya menghapuskan daerahdaerah pemukiman orang miskin dan menggantinya dengan perumahan murah. Selain itu Kagawa juga mendirikan badan kredit, sekolah, rumah sakit, dan gereja, dan menulis serta berbicara secara ekstensif pada penerapan prinsip-prinsip Kristen untuk urutan masyarakat.

Pejuang bagi kaum miskin

Usaha-usaha Kagawa sempat terhenti sebentar karena ia harus melanjutkan studinya di Universitas Princeton, Amerika. Setelah pendidikan seminarinya selesai kira-kira pada tahun 1914-1917 kemudian ia kembali lagi ke Sinkawa. Kesadaran kaum pekerja mulai timbul pada tahun 1921 ketika kaum buruh dari galangan kapal Kawasaki dan Mitsubishi di Kobe mengadakan mogok kerja. Puncak kegiatan Kagawa dalam bidang sosial adalah ketika ia mulai suatu gerakan yang disebut “Gerakan Kerajaan Allah” usaha tersebut dimulai dengan kampanye-kampanye yang serentak diadakan di enam kota terbesar di Jepang.
Gerakan ini berusaha mengabarkan Injil kepada tiap kelompok dan golongan: petani, buruh industri dan pabrik, nelayan, buruh tambang, pekerja bidang transport, buruh-buruh kasar bidang pekerja umum. Gerakan ini juga disebut Gerakan pekabaran Injil sekaligus gerakan perbaikan sosial. Gerakan Kerajaan Allah ini juga dimaksudkan untuk menciptakan persaudaraan baru dengan membentuk pelbagai macam perhimpunan kaum buruh yang besifat koperasi. Dalam kampanyenya ia juga mengkritik gereja dengan pedas, antara lain: Kejahataan gereja terbesar pada abad ini ialah bahwa walaupun di antara anggota-anggotanya terdapat banyak penganggur, orang miskin, dan orang kelas paling bawah yang tidak memiliki hak-hak apa pun, tetapi gereja sering tidak mengulurkan tangannya untuk mengangkat mereka.

Kagawa ingin mewujudkan suatu masyarakat Kristen serta menjadikan seluruh dunia sebagai masyarakat Kristen yang didasarkan pada kasih dan salib Kristus. Kagawa banyak mengadakan perjalanan ke luar negeri untuk mempropagandakan gerakanya itu. Pidatonya yang terkenal yaitu menyangkut hati nurani “Nurani manusia itu sendiri adalah politik, ekonomi, pendidikan dan ilmu pengetahuan akan berjalan dengan sendirinya.”
Bukan hanya di dalam negeri, Kagawa juga aktif menyoroti kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang terutama selama berlangsungnya Perang Dunia Kedua. Pada musim panas 1941, Kagawa pernah mengunjungi Amerika Serikat dalam upaya untuk mencegah perang antara Jepang dan Amerika Serikat. Sayangnya usaha ini digagalkan oleh pemerintah Jepang yang malah memutuskan menyerang pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour di akhir tahun itu. Setelah perang, Kagawa fokus mengabdikan dirinya mengembangkan demokrasi dan budaya tradisional Jepang. Ia meninggal di Tokyo pada 23 April 1960.

Kagwa dikenal sebagai pionir dari gerakan buruh di Jepang, pendiri Serikat Buruh yang pertama di Jepang, dia juga dikenal sebagai salah seorang tokoh sosialis Jepang pertama yang berseru dengan suara nyaring melawan materialisme, kapitalisme, kekerasan dan pengertian agama statis. Pahlawan bagi kaum marjinal.