Tuesday, April 23, 2013

Katharina Von Bora

“Wanita tangguh yang penuh kasih”

Katharina von Bora lahir di Lippendorf, Jerman pada tanggal 29 Januari 1499. Ia berasal dari keluarga bangsawan, ayahnya bernama Hans Von Bora dan ibunya Anna Von Haubitz. Tidak banyak informasi tentang masa kecil Katharina, namun sejak kecil, ketika berumur 6 tahun ibunya sudah meninggal. Dia dibesarkan dalam keluarga beragama Katolik Roma yang taat.

Hidup sebagai seorang biarawati

Waktu Katharina von Bora dihabiskan didalam biara, hal itu tidak lumrah bagi kalangan bangsawan pada zaman itu untuk mengirim anak mereka ke biara dalam jangka waktu tertentu atau selamanya. Namun ketika berumur 5 tahun Katharina dikirim ke biara Benediktin di Brehna, yang memberikan pendidikan bagi gadis-gadis muda. Kathrina dikirim ke dua kalinya  bersama bibinya di biara Cistercian dari marienthron di Nimbschen. Pada usia enam belas dia mengambil sumpah untuk menjadi seorang biarawati di biara tersebut. Ketika tinggal di biara, ia memiliki banyak kesempatan untuk belajar. Dia merupakan seorang yang suka membaca dan menulis dan banyak keahlian lainnya.

Pada usia dua puluh empat tahun ia menerima pengajaran Reformasi dan dia dikonversi ke Injil sejati Kristus Yesus, dan mulai meninggalkan karya-kebenaran Gereja Roma. Setelah merangkul doktrin-doktrin dan keyakinan baru, ia memutuskan untuk meninggalkan biara. Dia tidak bisa lagi hidupnya didedikasikan untuk agama palsu. Pada akhirnya, dia melarikan diri dari biara bersama dengan sebelas biarawati lainnya. Ini merupakan langkah yang sangat berbahaya bagi para biara wanita yang melarikan diri dan mereka yang menyangkal agama, karena hukumannya adalah hukuman mati. Tapi cintanya akan Kristus lebih kuat dari ketakutannya akan kematian, sehingga dia berani melarikan diri. Katharina dan teman-temannya berhasil melarikan diri dengan bersembunyi di kereta Koppe yang tertutup antara barel ikan, dan melarikan diri ke Wittenberg, dalam pelariannya, dia menghubungi Luther dan memohon bantuannya. Para biarawati yang melarikan diri dengan cepat ditempatkan di keluarga atau menikah karena tidak ada tempat untuk perempuan lajang dalam masyarakat pada waktu itu.

Menjadi isteri sang Reformator

Dalam pelariannya, Katharina menjadi “incaran” para pria, termasuk alumnus Universitas Wittenberg Jerome (Hieronymus) Baumgartner dari Nuremberg dan seorang pendeta, Dr Kaspar Glatz dari Orlamünde, tetapi tidak ada yang cocok bagi katharina. Akhirnya, ia menikah dengan Marthin Luther, pada 13 Juni 1525 di hadapan para saksi, termasuk Justus Jonas, Johannes Bugenhagen, dll. Meskipun pernikahannya banyak yang menentang, tetapi ia berkata: “Pernikahan saya akan menyenangkan ayah saya, menggusarkan Paus, menyebabkan malaikat tertawa dan setan menangis”.
Jadi dengan tekad yang sudah bulat ia menikah. Pernikahan mereka bukan hanya atas dasar kasih tetapi juga mencoba untuk memberi contoh dan bersuara keras terhadap pandangan rendah terhadap pernikahan di Gereja Roma.
Setelah menikah, Katharina mengerjakan tugas administrasi dan mengelola kepemilikan besar biara, memelihara dan menjual ternak. Pada saat itu wabah penyakit meluas, Katharina diperbantukan di sebuah rumah sakit untuk melayani orang sakit bersama perawat lainnya. Pernikahannya dengan Luther dikaruniai enam orang anak, Hans, Elizabeth yang meninggal pada usia delapan bulan, Magdalena meninggal pada tiga belas tahun, Martin Jr, Paul dan Margarete, mereka juga mengangkat empat anak yatim piatu, termasuk keponakan Katharina.

Isteri yang penuh tanggung jawab dan kasih sayang

Katharina biasa bangun jam 4 pagi untuk mengerjakan tanggung jawabnya sebagai isteri, sehingga Luther menyebut istrinya itu sebagai “bintang pagi dari Wittenberg”. Mantan suster ini sangat rajin menyiangi kebun sayuran dan tanaman anggreknya. Ia juga mengelola bisnis keluarga dan mengatur rumah tangga dan properti lainnya milik Luther. Katharina menjadikan rumah sebagai sekolah pembentukan karakter anak-anaknya. Ketekunan Katharina yang penuh semangat dan perhatiannya bagi keluarga menjadikannya sebagai seorang wanita yang berpengaruh.
Katharina tampaknya mirip seperti seorang wanita yang digambarkan dalam Amsal 31. Wanita ini jelas merupakan istri berkarakter mulia yang “bangun kalau masih malam, lalu menyediakan makanan untuk seisi rumahnya” (ay.15). Ia juga “mengawasi segala perbuatan rumah tangganya, makanan kemalasan tidak dimakannya” (ay.27).

Dari tokoh panutan seperti Katharina, kita dapat belajar tentang kasih, ketekunan, dan takut akan Tuhanyang dibutuhkan untuk menjadi seorang wanita yang berpengaruh. Keberhasilan marthin Luther tidak terlepas dari peran dan doa sang isteri, Katharina von Bora. Sungguh sebuah perhatian dan kasih seorang isteri yang tidak berkesudahan.

Toyohiko Kagawa

“Pahlawan Kaum Buruh di Jepang”

Toyohiko Kagawa lahir di Kobe, Jepang pada tanggal 10 Juli 1888. Ayahnya adalah seorang politikus dan pembesar di Jepang. Ia dilahirkan dari seorang ibu yang merupakan gundik dari ayahnya. Kagawa kurang merasakan kasih sayang dari orang tua, karena sejak ia masih berusia empat tahun, ibunya meninggal, ridak lama berselang, ketika ia masih muda ayahnya juga meninggal dunia. Akhirnya, Kagawa dipelihara oleh ibu dan nenek tirinya di desa Awa. Penderitaan yang berat dia alami sejak kecil, nenek tiri yang mengasuhnya adalah seorang yang kejam sehingga Kagawa kerap mendapat perlakuan yang buruk.

Harga yang mahal untuk sebuah Kelahiran Baru

Setelah menyelesaikan pendidikan rendahnya di Awa, ia dikirim untuk melanjutkan sekolah di kota dan tinggal bersama pamannya. Di sekolah, ia tidak disukai oleh teman-temannya, karena ia tidak mau mengikuti kebiasaan-kebiasan buruk seperti yang teman-temannya lakukan, seperti berjudi, mencuri dan melacur.
Kagawa adalah seorang yang cerdas dan memiliki pendirian yang kuat, karena alasan itulah maka pamannya mengirim Kagawa belajar bahasa Inggris pada seorang pendeta Gereja Presbiterian, yang bernama Katayama tetapi Kagawa menyebutnya Dr. Harry Myers. Sejak saat itulah Kagawa mulai mengenal kekristenan, ia mulai berdoa sekalipun ia belum menjadi Kristen, ia mulai tertarik untuk membaca dan menghafal ayat-ayat Alkitab, terutama mengenai Khotbah di Bukit. Ia begitu memiliki kerinduan untuk menjadi sama seperti Kristus, dalama doanya hal yang dimintanya adalah “ Jadikanlah aku seperti Kisrtus.” Akhirnya, pada usia 15 tahun tanpa sepengetahuan pamannya ia dibaptis dan menjadi Kristen.
Setelah tamat di sekolah menengah, pamannya menyuruh melanjutkan kuliah pada Imperial University, namun Kagawa menolaknya dan dengan penuh keberanian dan siap akan resiko apapun yang akan ia tanggung, akhirnya Kagawa menyatakan bahwa ia telah menjadi seorang Kristen. Rupanya dia harus membayar harga yang mahal untuk sebuah iman dan kepercayaan akan Tuhan Yesus, ketika mendengar hal tersebut pamannya mengusir Kagawa. Kemudian ia di tampung oleh Dr. Myers dan disekolahkan di Presbyterian Collage di Tokyo sejak tahun 1905. Ia menaruh perhatian pada Filsafat, masalah sosial seluruh bidang hidup manusia terutama menyangkut tindakan-tindakannya.

Menemukan panggilan pelayanan

Di sekolah inilah ia mengetahui bahwa panggilannya adalah untuk membantu orang-orang miskin. Kesadaran atas panggilan tersebut direspons olehnya dengan serius. Salah satu perhatiannya adalah soal kemiskinan yang mendera Jepang di awal abad kedua puluh. Perekonomian masyarakat Jepang pada awal abad kedua puluh memang terpuruk. Pertumbuhan ekonomi melambat dan tingkat kemiskinan amat tinggi. Untuk lebih mendekatkan diri pada pokok masalah, sejak tahun 1909 ia memutuskan untuk tinggal bersama-sama orang-orang miskin di sebuah gubuk berukuran 2x2 meter di daerah Shinkawa. Kagawa menyisihkan uangnya untuk membantu masyarakat miskin di sana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Salah satu sumbangan Kagawa bagi pemberantasan kemiskinan adalah dengan meneliti secara ilmiah penyebab, akibat, dan cara menanggulangi kemiskinan. Hasil peneltiannya terangkum dalam buku Ilmu Jiwa tentang Kemiskinan (The Psychology of Poverty). Buku tersebut mendapat perhatian dari pemerintah Jepang, sehingga pemerintah berupaya menghapuskan daerahdaerah pemukiman orang miskin dan menggantinya dengan perumahan murah. Selain itu Kagawa juga mendirikan badan kredit, sekolah, rumah sakit, dan gereja, dan menulis serta berbicara secara ekstensif pada penerapan prinsip-prinsip Kristen untuk urutan masyarakat.

Pejuang bagi kaum miskin

Usaha-usaha Kagawa sempat terhenti sebentar karena ia harus melanjutkan studinya di Universitas Princeton, Amerika. Setelah pendidikan seminarinya selesai kira-kira pada tahun 1914-1917 kemudian ia kembali lagi ke Sinkawa. Kesadaran kaum pekerja mulai timbul pada tahun 1921 ketika kaum buruh dari galangan kapal Kawasaki dan Mitsubishi di Kobe mengadakan mogok kerja. Puncak kegiatan Kagawa dalam bidang sosial adalah ketika ia mulai suatu gerakan yang disebut “Gerakan Kerajaan Allah” usaha tersebut dimulai dengan kampanye-kampanye yang serentak diadakan di enam kota terbesar di Jepang.
Gerakan ini berusaha mengabarkan Injil kepada tiap kelompok dan golongan: petani, buruh industri dan pabrik, nelayan, buruh tambang, pekerja bidang transport, buruh-buruh kasar bidang pekerja umum. Gerakan ini juga disebut Gerakan pekabaran Injil sekaligus gerakan perbaikan sosial. Gerakan Kerajaan Allah ini juga dimaksudkan untuk menciptakan persaudaraan baru dengan membentuk pelbagai macam perhimpunan kaum buruh yang besifat koperasi. Dalam kampanyenya ia juga mengkritik gereja dengan pedas, antara lain: Kejahataan gereja terbesar pada abad ini ialah bahwa walaupun di antara anggota-anggotanya terdapat banyak penganggur, orang miskin, dan orang kelas paling bawah yang tidak memiliki hak-hak apa pun, tetapi gereja sering tidak mengulurkan tangannya untuk mengangkat mereka.

Kagawa ingin mewujudkan suatu masyarakat Kristen serta menjadikan seluruh dunia sebagai masyarakat Kristen yang didasarkan pada kasih dan salib Kristus. Kagawa banyak mengadakan perjalanan ke luar negeri untuk mempropagandakan gerakanya itu. Pidatonya yang terkenal yaitu menyangkut hati nurani “Nurani manusia itu sendiri adalah politik, ekonomi, pendidikan dan ilmu pengetahuan akan berjalan dengan sendirinya.”
Bukan hanya di dalam negeri, Kagawa juga aktif menyoroti kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang terutama selama berlangsungnya Perang Dunia Kedua. Pada musim panas 1941, Kagawa pernah mengunjungi Amerika Serikat dalam upaya untuk mencegah perang antara Jepang dan Amerika Serikat. Sayangnya usaha ini digagalkan oleh pemerintah Jepang yang malah memutuskan menyerang pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour di akhir tahun itu. Setelah perang, Kagawa fokus mengabdikan dirinya mengembangkan demokrasi dan budaya tradisional Jepang. Ia meninggal di Tokyo pada 23 April 1960.

Kagwa dikenal sebagai pionir dari gerakan buruh di Jepang, pendiri Serikat Buruh yang pertama di Jepang, dia juga dikenal sebagai salah seorang tokoh sosialis Jepang pertama yang berseru dengan suara nyaring melawan materialisme, kapitalisme, kekerasan dan pengertian agama statis. Pahlawan bagi kaum marjinal.