Tuesday, February 24, 2015

Jonathan Edwards

“Pahlawan Keluarga”


Jonathan Edwards merupakan anak ke lima dari sebelas bersaudara, lahir pada 5 Oktober 1703 di Windson Timur, Connecticut, Amerika Serikat. Edwars dilahirkan dari keluarga pendeta, ayahnya Timothy Edwards adalah seorang pendeta di East Windsor, Connecticut, sedangkan ibunya Ester Stoddard, adalah putri dari Pdt. Salomo Stoddard, dari Northampton, Massachusetts. Sejak kecil Edwards yang merupakan anak laki-laki satu-satunya ini dididik dalam nilai-nilai kebenaran firman Tuhan. Orang tua Edwards juga mendorong anak-anaknya untuk gemar membaca banyak buku dan belajar berbagai bahasa. Di usianya yang ke 6 tahun, ayahnya sudah mengajarkan bahasa Latin kepadanya dan dengan cepat Edwards dapat menguasainya. Pada usia 13 tahun, ia juga sudah fasih berbahasa Yunani dan Ibrani.


Belajar Alkitab menjadi prioritasnya

Pada tahun 1716, ia melanjutkan studinya di Yale College sebelum genap berusia tiga belas tahun. Walaupun banyak mempelajari karya-karya John Locke dan Isaac Newton juga filosofi alam dan jiwa, tetapi Edwards lebih memprioritaskan mempelajari Alkitab, katekismus, berbagai warisan Puritan serta Reformed dari orang tuanya. Edwards bersemangat dalam menjaga kemurnian ajaran Kitab Suci dalam kesatuan gereja. Edwards menggunakan kontroversi dari teori Newton untuk membuktikan kehadiran dan keterlibatan Allah yang intim di dalam dunia ciptaan-Nya. Edwards mampu melihat topangan Allah secara aktif atas ciptaan-Nya. Dia menulis banyak artikel yang membuktikan kesalahan-kesalahan deisme yang dikhawatirkan mengancam kesatuan gereja. Menurut mereka, seluruh tindakan manusia diproses oleh pikiran yang baik atau buruk.

Kecerdasan Edwards terlihat ketika ia masih kecil, Edwards selalu memiliki nilai “+” dalam hal materi belajarnya. Setelah menyelesaikan studinya di Yale dengan gelar B.A, Edwards melanjutkan 2 tahun lagi studi dalam program Magister di Yale untuk pelayanan. Pada usia dua puluh empat tahun, ia ditahbiskan sebagai seorang pendeta tepatnya pada tanggal 15 Februari 1727, di gereja Northampton, Massachusetts sekaligus menjadi asisten kakeknya, Solomon Stoddard. Dan pada tahun 1750 Edwards menjadi gembala di gereja tersebut setelah kakeknya meninggal.


Tokoh kebangunan rohani Amerika Serikat

Edwards adalah pembela ajaran Calvinis melalui khotbah-khotbah yang dikemukakannya. Tanpa ia sadari, hal itu mengakibatkan jemaatnya ikut bangkit dan berhasil menguasai kota kecil yang ada di wilayah Northampton. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama “The Great Awakening” (Kebangunan Rohani Besar), yang terus berlanjut pada musim dingin 1734 dan musim semi berikutnya, sampai-sampai mengancam jalannya bisnis di kota itu. Selama enam bulan, hampir tiga ratus orang menghadiri ibadah di gereja. Kebangunan rohani itu memberi Edwards kesempatan untuk mempelajari proses pertobatan dalam berbagai tahap dan jenis, dan ia mencatat pengamatannya itu dengan ketelitian dan diskriminasi psikologis dalam "A Faithful Narrative of the Surprising Work of God in the Conversion of Many Hundred Souls in Northampton".

Kebangunan Rohani di Northampton berdampak luar biasa, dalam waktu setahun hampir seluruh penduduk dewasa di kota itu bertobat. Kebangunan rohani tersebut telah tersebar ke lembah Connecticut dan gaungnya menggema hingga ke Inggris dan Skotlandia, dan bahkan meluas pada seluruh gereja di Amerika Utara. Pada waktu itu Edwards berkenalan dengan George Whitefield dan menyampaikan khotbahnya yang paling terkenal, "Sinners in the Hands of an Angry God", di Enfield, Connecticut pada tahun 1741. Khotbah ini terkenal sebagai salah satu contoh terbesar dari gaya khotbah yang "menyala-nyala". Bagi Edwards, kebangunan rohani yang sejati harus berdasarkan pada Kitab Suci dan bukan sekedar emosi atau pengalaman, kebangunan rohani adalah pekerjaan Roh Kudus.

Membangun keluarga berdasarkan kebenaran Ilahi

Jonathan Edwards menikah dengan Sarah Pierpont, seorang wanita yang dapat berbagi semangat religius dengannya. Edwards menyebut hubungannya dengan istrinya sebagai “persatuan yang tidak biasa”. Mereka dikaruniai dengan 11 anak (8 perempuan dan 3 laki-laki), anak-anaknya sangat hormat dan kagum terhadap Edwards. Dia selalu menyediakan waktu bersama dengan anak-anaknya setiap pagi untuk bersaat teduh dan sarapan bersama serta terkadang di waktu malam. Dari surat-surat Edwards kepada anak-anaknya, nampak bahwa Edwards adalah sosok ayah yang hangat dan penuh perhatian.

Namun dalam hal kerohanian dan pendidikan anak-anaknya, Edwards sangat tegas, ia menetapkan jadwal belajar yang ketat dan disiplin kepada mereka. Sebagaimana prinsip-prinsip kebenaran firman yang telah diajarkan oleh orang tuanya kepadanya, Edwards juga mengajarkannya kepada isteri dan anak-anaknya, membangun keluarga berdasarkan firman Tuhan. Selain memiliki kedisiplinan dalam kerohanian, dia juga sangat memperhatikan asupan gizinya, termasuk makanan yang kurang baik atau yang bisa menyebabkan ngantuk baginya, ia berpantang terhadap beberapa jenis makanan dan melatih tubuhnya dengan berkuda, berjalan atau sekedar memotong kayu bakar.


Menurut Edwards, keluarga adalah fondasi dalam terjadinya kebangunan rohani, ia menyimpulkan bahwa karya Ilahi yang mengubahkan itu dimulai dari keluarga, menghasilkan hubungan yang harmonis di antara orang-orang yang saling mengasihi yang  dipersatukan Allah, menyebar ke gereja dalam kerinduan beribadah dan menikmati Firman, hingga akhirnya nyata dalam sikap kasih kepada sesama. Ia sangat mencintai keluarganya sehingga keturunannya menjadi saksi akan pengabdiannya.


Banyak karya yang telah dihasilkan dalam pelayanan kakek wakil presiden Amerika Serikat ke-3 (Aaron Burr, Jr) ini, tetapi yang lebih besar dari semuanya adalah keberhasilannya dalam mendidik anak-anaknya, sehingga dalam sebuah suvey dari tim sosiolog dari negara bagian New York yang menyelidiki pengaruh yang ditimbulkan oleh kehidupan ayah terhadap anak-anak dan generasi penerusnya terhadap keturunan Max Jukes dan Jonathan Edwards. Hasilnya berbanding terbalik, keturanan dari Jonathan Edwards menjadi orang-orang yang sukses dan luar biasa serta memberikan kontribusi terhadap pemerintah. Dedikasi, disiplin dan kecintaannya kepada Tuhan dan keluarganya telah menjadikannya teladan dan pahlawan bagi keluarga.


 "Saya tidak peduli siapa kakek saya; yang saya risaukan adalah akan jadi apa cucu saya nanti"
 - Abraham Lincoln-

No comments:

Post a Comment