“Pahlawan
Keluarga”
Jonathan Edwards merupakan anak ke lima dari sebelas bersaudara, lahir pada 5 Oktober 1703 di Windson Timur, Connecticut, Amerika Serikat. Edwars dilahirkan dari keluarga pendeta, ayahnya Timothy Edwards adalah seorang pendeta di East Windsor, Connecticut, sedangkan ibunya Ester Stoddard, adalah putri dari Pdt. Salomo Stoddard, dari Northampton, Massachusetts. Sejak kecil Edwards yang merupakan anak laki-laki satu-satunya ini dididik dalam nilai-nilai kebenaran firman Tuhan. Orang tua Edwards juga mendorong anak-anaknya untuk gemar membaca banyak buku dan belajar berbagai bahasa. Di usianya yang ke 6 tahun, ayahnya sudah mengajarkan bahasa Latin kepadanya dan dengan cepat Edwards dapat menguasainya. Pada usia 13 tahun, ia juga sudah fasih berbahasa Yunani dan Ibrani.
Belajar
Alkitab menjadi prioritasnya
Pada tahun 1716, ia melanjutkan
studinya di Yale College sebelum genap berusia tiga belas tahun. Walaupun banyak
mempelajari karya-karya John Locke dan Isaac Newton juga filosofi alam dan jiwa, tetapi Edwards
lebih memprioritaskan mempelajari Alkitab, katekismus, berbagai warisan Puritan
serta Reformed dari orang tuanya. Edwards bersemangat dalam menjaga kemurnian
ajaran Kitab Suci dalam kesatuan gereja. Edwards menggunakan kontroversi dari
teori Newton untuk membuktikan kehadiran dan keterlibatan Allah yang intim di
dalam dunia ciptaan-Nya. Edwards mampu melihat topangan Allah secara aktif atas
ciptaan-Nya. Dia menulis banyak artikel yang membuktikan kesalahan-kesalahan
deisme yang dikhawatirkan mengancam kesatuan gereja. Menurut mereka, seluruh
tindakan manusia diproses oleh pikiran yang baik atau buruk.
Kecerdasan Edwards terlihat
ketika ia masih kecil, Edwards selalu memiliki nilai “+” dalam hal materi
belajarnya. Setelah menyelesaikan studinya di Yale dengan gelar B.A, Edwards
melanjutkan 2 tahun lagi studi dalam program Magister di Yale untuk pelayanan. Pada
usia dua puluh empat tahun, ia ditahbiskan sebagai seorang pendeta tepatnya
pada tanggal 15 Februari 1727, di gereja Northampton, Massachusetts sekaligus
menjadi asisten kakeknya, Solomon Stoddard. Dan pada tahun 1750 Edwards menjadi
gembala di gereja tersebut setelah kakeknya meninggal.
Tokoh kebangunan
rohani Amerika Serikat
Edwards adalah pembela ajaran
Calvinis melalui khotbah-khotbah yang dikemukakannya. Tanpa ia sadari, hal itu
mengakibatkan jemaatnya ikut bangkit dan berhasil menguasai kota kecil yang ada
di wilayah Northampton. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama “The Great
Awakening” (Kebangunan Rohani Besar), yang terus berlanjut pada musim dingin
1734 dan musim semi berikutnya, sampai-sampai mengancam jalannya bisnis di kota
itu. Selama enam bulan, hampir tiga ratus orang menghadiri ibadah di gereja.
Kebangunan rohani itu memberi Edwards kesempatan untuk mempelajari proses
pertobatan dalam berbagai tahap dan jenis, dan ia mencatat pengamatannya itu
dengan ketelitian dan diskriminasi psikologis dalam "A Faithful Narrative of the Surprising Work of God in the
Conversion of Many Hundred Souls in Northampton".
Kebangunan Rohani di Northampton berdampak
luar biasa, dalam waktu setahun hampir seluruh
penduduk dewasa di kota itu bertobat. Kebangunan rohani tersebut telah tersebar
ke lembah Connecticut dan gaungnya menggema hingga ke Inggris dan Skotlandia, dan
bahkan meluas pada seluruh gereja di Amerika Utara. Pada waktu itu Edwards
berkenalan dengan George Whitefield dan menyampaikan khotbahnya yang paling
terkenal, "Sinners in the Hands of an Angry God", di Enfield,
Connecticut pada tahun 1741. Khotbah ini terkenal sebagai salah satu contoh
terbesar dari gaya khotbah yang "menyala-nyala". Bagi Edwards,
kebangunan rohani yang sejati harus berdasarkan pada Kitab Suci dan bukan sekedar
emosi atau pengalaman, kebangunan rohani adalah pekerjaan Roh Kudus.
Membangun
keluarga berdasarkan kebenaran Ilahi
Jonathan Edwards menikah dengan Sarah
Pierpont, seorang wanita yang dapat berbagi semangat religius dengannya.
Edwards menyebut hubungannya dengan istrinya sebagai “persatuan yang tidak
biasa”. Mereka dikaruniai dengan 11 anak (8 perempuan dan 3 laki-laki),
anak-anaknya sangat hormat dan kagum terhadap Edwards. Dia selalu menyediakan
waktu bersama dengan anak-anaknya setiap pagi untuk bersaat teduh dan sarapan
bersama serta terkadang di waktu malam. Dari surat-surat Edwards kepada
anak-anaknya, nampak bahwa Edwards adalah sosok ayah yang hangat dan penuh
perhatian.
Namun dalam hal kerohanian dan
pendidikan anak-anaknya, Edwards sangat tegas, ia menetapkan jadwal belajar
yang ketat dan disiplin kepada mereka. Sebagaimana prinsip-prinsip kebenaran
firman yang telah diajarkan oleh orang tuanya kepadanya, Edwards juga
mengajarkannya kepada isteri dan anak-anaknya, membangun keluarga berdasarkan
firman Tuhan. Selain memiliki kedisiplinan dalam kerohanian, dia juga sangat
memperhatikan asupan gizinya, termasuk makanan yang kurang baik atau yang bisa
menyebabkan ngantuk baginya, ia berpantang terhadap beberapa jenis makanan dan
melatih tubuhnya dengan berkuda, berjalan atau sekedar memotong kayu bakar.
Menurut Edwards, keluarga adalah fondasi
dalam terjadinya kebangunan rohani, ia menyimpulkan bahwa karya Ilahi yang
mengubahkan itu dimulai dari keluarga, menghasilkan hubungan yang harmonis di
antara orang-orang yang saling mengasihi yang dipersatukan Allah, menyebar ke gereja dalam
kerinduan beribadah dan menikmati Firman, hingga akhirnya nyata dalam sikap
kasih kepada sesama. Ia sangat mencintai keluarganya sehingga keturunannya menjadi
saksi akan pengabdiannya.
Banyak karya yang telah
dihasilkan dalam pelayanan kakek wakil presiden Amerika Serikat ke-3 (Aaron
Burr, Jr) ini, tetapi yang lebih besar dari semuanya adalah keberhasilannya
dalam mendidik anak-anaknya, sehingga dalam sebuah suvey dari tim sosiolog dari
negara bagian New York yang menyelidiki pengaruh yang ditimbulkan oleh
kehidupan ayah terhadap anak-anak dan generasi penerusnya terhadap keturunan
Max Jukes dan Jonathan Edwards. Hasilnya berbanding terbalik, keturanan dari Jonathan
Edwards menjadi orang-orang yang sukses dan luar biasa serta memberikan
kontribusi terhadap pemerintah. Dedikasi, disiplin dan kecintaannya kepada
Tuhan dan keluarganya telah menjadikannya teladan dan pahlawan bagi keluarga.
"Saya tidak peduli siapa kakek saya; yang saya
risaukan adalah akan jadi apa cucu saya nanti"
- Abraham Lincoln-
No comments:
Post a Comment